Masalah SIM Card Ancam Kedaulatan Digital, IAW Desak Audit Nasional

Abbas Ibnu Assarani
Ilustrasi SIM Card. (Foto:Okezone)

BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Ketidakmampuan negara dalam mengatur distribusi dan pemanfaatan kartu SIM membuka celah besar bagi menjamurnya kejahatan digital di Indonesia.

Fenomena seperti nomor fiktif, kebocoran data pengguna, dan praktik kuota hangus, menjadi pertanda buruknya tata kelola ruang siber nasional.

Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menilai akar dari berbagai serangan digital yang merugikan publik justru bersumber dari dalam negeri. Kedaulatan digital Indonesia tengah runtuh karena lemahnya kontrol terhadap aspek fundamental, yakni kartu SIM.

“Dari saku baju, SIM card bisa menembus sistem keuangan negara, mengguncang pemilu, hingga menyuburkan kejahatan online. Kartu yang ongkos produksinya dikisaran Rp1.100 sampai Rp1.200 itu sungguh cukup merepotkan republik kita,” ujar Iskandar dalam keterangan tertulis, Senin (28/7/2025).

Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menunjukkan adanya 315 juta kartu SIM aktif hingga Mei 2025. Namun klaim dari peretas anonim Bjorka menyebut, data registrasi kartu mencapai 1,3 miliar, angka yang jauh melebihi jumlah penduduk Indonesia yang hanya sekitar 280 juta.

“Artinya, ada ratusan jutaan SIM card aktif yang tak punya logika demografis. Pertanyaannya, siapa yang punya, siapa yang pakai, dan siapa yang mengawasi?” tambahnya.

Kondisi tersebut ruanya bukan hal baru. Sejak 2010, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah nomor ponsel selalu melampaui total populasi. Tahun 2010 ada 253 juta nomor aktif, meningkat drastis menjadi 435 juta pada 2017.

“Sejak era ponsel massal 15 tahun lalu, kita hidup dalam situasi aneh, yaitu jumlah nomor aktif tidak pernah mencerminkan jumlah penduduk yang bisa diverifikasi,” kata Iskandar.

Padahal regulasi telah disiapkan. Permenkominfo No. 12/2016 misalnya, sudah mengatur batas maksimal tiga kartu per operator untuk satu NIK. Aturan terbaru, Permenkominfo No. 5/2021, bahkan menekankan perlunya pengawasan lintas operator. Tapi di lapangan, celah pembelian kartu tanpa verifikasi tetap terbuka lebar, terutama di kanal penjualan daring.

Menurut IAW, kelemahan sistem pengawasan tersebut telah mendorong praktik kejahatan digital seperti penipuan OTP, judi online, penyebaran hoaks oleh bot politik, hingga serangan phising massal.

“Kalau negara gagal menutup lubang ini, maka kita bukan hanya bicara soal kerugian finansial, tapi juga ancaman terhadap pemilu, ketertiban umum, dan integritas demokrasi,” tegas Iskandar.

Tak hanya soal nomor fiktif, IAW juga mengkritik praktik penghangusan kuota oleh operator. Menurut mereka, banyak konsumen membeli paket data besar namun hanya menggunakan sebagian kecilnya. Sisa kuota yang hangus begitu saja tidak mendapat kompensasi maupun sistem pemindahan (rollover) yang adil.

"Hendaknya korporasi provider memiliki moral yang tinggi jika mengetahui posisi konsumennya dirugikan, walau karena regulasi yang belum berlaku adil. Jangan pula malah merasa nyaman bahkan menikmati kondisi 'zona' yang buruk bagi konsumen tersebut. UU Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 memang belum menyentuh ranah perlindungan hak atas kuota digital,” cetusnya.

Dalam pengamatannya, Iskandar menyebut, pemasok kartu SIM di Indonesia terdiri dari vendor global seperti Thales, IDEMIA, dan G+D, serta produsen lokal seperti PT Pelita Teknologi (PGLO). Kartu-kartu tersebut kemudian dipasok ke operator utama di Indonesia. Namun, hingga saat ini belum ada audit menyeluruh yang memeriksa distribusi kartu SIM, sistem enkripsi chip, serta kecocokan antara data pengguna dan kartu aktif secara aktual.

Selama ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hanya mengaudit laporan keuangan Kominfo serta operator BUMN seperti Telkomsel. Belum ada langkah investigatif terhadap validitas data nasional kartu SIM, termasuk kartu-kartu tidak aktif (zombie SIM), rantai pasok vendor, maupun kerugian konsumen akibat kuota yang hangus.

"Padahal, audit inilah yang akan bisa membantu membuka tabir kriminal digital sistemik di Indonesia," ujar pria asal Palembang itu.

Untuk memperbaiki situasi, IAW menyodorkan empat rekomendasi reformasi yang mendesak dilakukan pemerintah:

1. Audit BPK terhadap registrasi dan vendor SIM card, dengan melibatkan Dukcapil, PPATK, dan BSSN. Provider harus bertanggung jawab secara etis dan sistematis atas nomor-nomor yang digunakan untuk merugikan konsumen, sesuai dengan lingkup bisnisnya.

2. Revisi UU Perlindungan Konsumen, dengan menambahkan pasal baru yang mengatur hak atas kuota digital yang tidak terpakai, guna mencegah praktik manipulatif melalui pengabaian informasi (fraud by omission).

3. Penerapan whitelist nasional untuk SIM card, di mana hanya nomor yang sudah diverifikasi langsung ke Dukcapil yang dapat digunakan untuk layanan digital vital seperti perbankan, e-wallet, dan pendaftaran pemilu.

4. Satgas judi online perlu menyasar distribusi kartu SIM, bukan hanya fokus pada pemblokiran situs. Karena akar transaksinya justru berasal dari nomor-nomor tak terlacak.

“SIM card hanya seukuran iklan baris, tapi ia adalah kunci masuk ke ruang digital nasional: rekening, e-wallet, pinjol, pendaftaran pemilu, dan identitas online,” terang Iskandar.

Penindakan terhadap kejahatan digital berbasis kartu SIM dan kuota, menurut Iskandar, bukan perkara rumit. Aparat hukum dan auditor negara bisa menelusurinya secara digital melalui sistem penagihan Signaling System 7 serta audit Home Location Register (HLR).

“Jika negara tak mampu mengendalikan kartu sekecil ini, maka negara bisa kehilangan kendali atas rakyatnya sendiri, di ruang yang tak terlihat, yakni dunia digital,” pungkasnya. (*)

Editor : Abdul Basir

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network